Seseorang pernah bilang bahwa kemajuan teknologi hanya akan memperlebar jurang antara yang paham dan yang tertinggal. Sinta, seorang perempuan muda dari Bandung, memilih untuk membantah itu - bukan lewat debat panjang, tapi lewat tindakan konkret. Ia membuktikan bahwa internet bisa jadi alat pemberdayaan, bukan sekadar konsumsi. Lewat kampanye digital yang nyaris tidak disengaja, Sinta berhasil mengumpulkan Rp345 juta untuk membangun pusat pelatihan keterampilan digital yang kini jadi tempat belajar, tumbuh, dan bertahan hidup bagi puluhan pemuda dari latar belakang ekonomi menengah ke bawah.
Awalnya, semua bermula dari satu video pendek di TikTok: Sinta merekam layar laptopnya sambil menjelaskan cara edit CV di Canva, pakai bahasa yang ringan dan gaya ngobrol santai. Video itu diunggah tanpa niat muluk. Tapi dalam tiga hari, komentar mulai masuk ribuan. Ada anak SMK yang bilang belum pernah tahu cara bikin email. Ada ibu rumah tangga yang pengin belajar Excel. Dan ada remaja putus sekolah yang minta diajari cara bikin desain feed Instagram buat jualan kecil-kecilan.
Sinta sadar: ada lubang besar di dunia digital kita - bukan karena orang nggak punya akses, tapi karena nggak tahu harus mulai dari mana.
Sinta mulai ajak beberapa teman kampusnya bikin kelas daring gratis. Zoom, Google Meet, slide seadanya. Tapi permintaan makin banyak. Ruang makin sempit. Beberapa peserta cuma bisa ikut lewat HP jadul, kuota pas-pasan, dan sinyal yang putus-nyambung. Di titik itu, ia sadar kalau gerakan ini nggak bisa cuma jalan dari dapur rumah dan file gratisan.
Dia buka kampanye donasi. Niat awalnya kecil - cuma pengen sewa ruko kecil, beli meja lipat, modem WiFi, dan beberapa laptop second. Tapi yang datang jauh lebih besar. Dalam waktu 40 hari, Rp345 juta terkumpul. Dari netizen. Dari yang nggak dikenal. Dari orang-orang yang mungkin dulunya juga bingung nyari arah.
Bukan coworking space ber-AC dingin dan tembok kaca. Bukan tempat pelatihan bersponsor besar dan jargon korporat. Tapi ruang sederhana, dengan poster motivasi di dinding, kipas angin seadanya, dan papan tulis bekas sumbangan alumni. Namanya: Ruang Tumbuh.
Setiap minggu, ada kelas desain grafis, dasar video editing, strategi konten sosial media, pemasaran digital UMKM, bahkan pengenalan coding pakai bahasa manusia. Semua pengajarnya adalah relawan. Beberapa mantan peserta kini balik jadi mentor. Tak ada biaya. Tak ada syarat ijazah. Hanya satu yang diminta: niat belajar.
Seorang peserta bernama Vina, dulunya kerja di toko HP, sekarang bantu kelola akun Instagram bisnis kecil ibunya dan berhasil naikkan omzet dua kali lipat. Fajar, remaja drop out, sekarang jadi editor lepas untuk konten TikTok milik brand lokal. Bahkan ibu-ibu PKK mulai rutin datang buat belajar bikin poster kegiatan RT.
"Saya bukan guru. Saya cuma orang yang kebetulan tahu duluan," kata Sinta. "Tugas saya cuma nolong buka pintunya."
Setelah media lokal meliput kegiatan Ruang Tumbuh, beberapa perusahaan digital dan komunitas teknologi mulai menghubungi Sinta. Ada yang menyumbang laptop bekas, ada yang menawarkan pelatihan tambahan, ada yang ingin magangkan stafnya sebagai mentor. Tapi Sinta menolak sponsor yang ingin bawa logo besar dan pencitraan. "Kalau mau bantu, bantu. Jangan ubah arah gerakan ini," tegasnya.
Sinta tak sedang mengubah dunia. Tapi dia membuka jalan bagi orang-orang yang ingin belajar cara menghadapi dunia baru. Ia percaya, keterampilan digital bukan hanya untuk yang kuliah di universitas elite atau anak muda yang tinggal di kota besar. Itu hak semua orang. Dan lewat satu video tutorial Canva, satu ruang kecil di Bandung kini jadi pintu gerbang masa depan yang lebih setara.