Rika tidak berasal dari keluarga nelayan. Tapi sejak kecil, ia tahu rasa asin air laut bukan sekadar mitos. Ia tumbuh besar di kampung pinggir Sungai Musi, menyaksikan para nelayan pulang dengan mata lelah dan ember kosong, lebih sering melawan nasib ketimbang mengangkat hasil.
Lalu datang satu hari, satu unggahan, satu angka: Rp335.000.000. Dana itu terkumpul bukan dari pemerintah, bukan dari lembaga, bukan dari CSR perusahaan besar. Tapi dari netizen. Dari orang-orang yang tersentuh oleh suara lirih yang akhirnya berani bicara lantang di media sosial: "Kalau nelayan dikasih alat yang layak, mereka nggak perlu dikasihani lagi."
Video itu sederhana. Rika merekam Pak Darlan, nelayan berusia 62 tahun, sedang merajut jaring dengan jarinya yang sudah bengkok dimakan usia. "Biar bolong-bolong, ini masih bisa," katanya waktu itu. Latar belakangnya: perahu kayu kusam, mesin tua yang harus ditendang dua kali supaya menyala. Hasil tangkapannya hari itu: dua ekor ikan, dan satu kantong plastik.
Rika unggah videonya dengan caption: "Bayangkan kalau mereka punya mesin GPS, sonar, atau alat pendingin. Mereka nggak minta dikasih uang. Mereka cuma pengen alat buat kerja."
Viral. 1,3 juta views dalam 3 hari. Komentar penuh haru, dan satu pertanyaan berulang: "Gue bisa bantu dari mana?"
Rika tak menunda. Ia buka halaman galang dana dengan target awal Rp75 juta. Tapi hanya dalam seminggu, angkanya melonjak. Komunitas diaspora Palembang, mahasiswa teknik perikanan, ibu-ibu arisan online, hingga selebgram lokal ikut menyebarkan. Ada yang nyumbang Rp10.000, ada pula yang transfer Rp15 juta tanpa nama.
Rika update progress setiap tiga hari: daftar alat, harga sewa kapal pengangkut, vendor mesin. Semuanya transparan. Uangnya tidak mampir ke dompet pribadi. Semua langsung disalurkan ke koperasi nelayan yang sudah Rika bentuk bersama warga pesisir sejak 2022.
Satu bulan kemudian, nelayan di kampung Rika tidak lagi berangkat malam buta dengan alat manual. Mereka punya sonar sederhana untuk mendeteksi pergerakan ikan. Mereka tidak lagi membungkus ikan pakai plastik es, tapi punya kotak pendingin yang menjaga kualitas hasil tangkapan. Mereka mulai bisa tawar-menawar dengan tengkulak - karena sekarang, ikan mereka bisa bertahan dua hari tanpa busuk.
"Bukan soal jumlahnya. Tapi soal harga diri," kata Pak Darlan, sambil tersenyum di atas perahu barunya, yang kini punya pelampung keselamatan.
"Saya cuma capek lihat orang kerja keras tapi tetap dibilang malas. Padahal masalahnya bukan kemauan, tapi alat," ucap Rika dalam podcast komunitas lingkungan. Ia menolak tampil di acara TV nasional. "Yang harus dilihat itu nelayannya, bukan saya."
Ia terus jalan. Program berikutnya sudah disiapkan: pelatihan literasi keuangan untuk anak-anak nelayan, kerja sama distribusi hasil laut ke restoran di Palembang tanpa tengkulak, dan target jangka panjang: membangun pabrik es kecil berbasis komunitas.
Kisah Rika bukan tentang viral yang cepat padam. Ini tentang satu perempuan muda yang tahu kapan harus berhenti diam. Tentang bagaimana internet bisa jadi jembatan antar manusia, antar empati, antar perjuangan yang sering tak terdengar. Tentang Rp335 juta yang bukan dibakar dalam euforia, tapi dijadikan jangkar bagi perahu-perahu yang dulu hanya tahu arah lewat bintang.